Jumat, 30 Januari 2015

Filosofi Kepasrahan Awan Akan Hukum Alam

Puisi "Kepasrahan Awan" Karya Larasati

Oleh Andhika Prasetya Wijaya

Artikel ini dimuat di Rubrik Refleksi - Majalah PUBLICITY Malang Edisi Januari 2015

Sumber: google.com
 Maka kepasrahan bukan berarti kita menerima dengan apa adanya, ataupun menyerah dengan keadaan. Pasrah adalah titik dimana kita mampu menjalani kehidupan selangkah demi selangkah serta menikmati setiap proses tanpa terbebani akan target kita.

Jika anda mendengar kata pasrah, apa yang akan terlintas dalam benak anda? Kalah, menyerah atau mungkin lemah adalah beberapa kata yang cukup mewakili sebuah kata yang sering kita sebut dengan ’pasrah’. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, pasrah dapat diartikan menyerah ataupun menyerahkan sepenuhnya. Dengan penjelasan tersebut  pasrah dapat diartikan sebagai sifat yang mengalah, mengikuti arus ataupun tidak memiliki pendirian yang teguh dalam hidup.
Namun pernahkan anda membaca sebuah karya sastra puisi karya Larasati yang berjudul ’Kepasrahan Awan’? Sebuah puisi yang bermakna dalam dan memberikan kita pandangan lain mengenai suatu kepasrahan. Berikut adalah puisi karya Larasati tersebut :

Awan…
Ia tak pernah bertanya mengapa ia harus selalu berubah
Menjadi berbagai bentuk mengikuti hukum Alam
Seiring alur yang telah ditakdirkan Tuhan untuknya
Awan…
Hari ini ia menghiasi biru warna langit
Namun esok bisa jadi ia akan jatuh ke bumi dalam bentuk titik-titik hujan
Mengalir melalui sungai yang membawanya berjalan pergi
Kemudian ia menguap menjadi kristal-kristal es
Hingga akhirnya kembali menjadi awan
Cerah sekali, biru dan sangat indah
Awan…
Ia tak pernah mengeluh karena harus turun kembali dari tahta langit
Menjadi gelap lalu jatuh membasuhi permukaan bukit
Dan hujan pun turun, ia menjadi air dan kembali ke laut
Kembalinya ia menguap dan menjadi sebuah awan

Seperti itulah sudut pandang seorang Larasati melihat suatu kepasrahan dari awan. Awan memiliki kepasrahan yang luar biasa dalam menjalani setiap takdir yang ia hadapi. Awan selalu pasrah untuk menjadi air di sungai, menguap di samudra, kembali menggumpal menjadi awan di tahta langit hingga akhirnya harus jatuh di bukit sebagai hujan.

Awan tak pernah bertanya kapan ia akan berhenti mengikuti hukum alam. Begitu pula suatu kehidupan yang akan terus berputar, kadang kita berada di atas tapi kita harus siap jika tiba-tiba harus jatuh seperti awan yang menjadi butiran hujan. Tak perlu kita terlalu berupaya mempertahankan sesuatu terlalu kuat, namun tetaplah dengan kadar kemampuan yang anda miliki. Awan dalam puisi karya Larasati digambarkan sebagai sosok yang menikmati proses kehidupan dengan baik, tanpa terbebani pikiran-pikiran yang menghalangi hukum alam tersebut.

Mengutip salah satu kalimat yang diucapkan Almarhum Bob Sadino ” Jangan Pikirkan, Tapi Lakukan – Anda berpikir seribu mil, wah pasti terasa jauh. Sedangkan saya tidak pernah berpikir karena hanya melakukan selangkah saja. Ngapain pakai mikir kan hanya selangkah”. Seperti yang kita tahu Bob Sadino adalah pengusaha sekaligus motivator yang cukup dikenal.

Berbeda dengan motivator lain yang biasanya menggunakan kalimat bijak, Bob Sadino justru menggunakan kalimat yang terkesan frontal. Membutuhkan pemahaman dari berbagai sudut agar kita mampu memahami setiap kalimat beliau. Agaknya kalimat yang terkesan blak-blakan tersebut memberikan pencerahan untuk tidak terlalu terbebani dan terjebak dengan pikiran-pikiran kita sendiri.
Terkadang kita berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan yang layak, hal tersebut tentu saja baik bahkan diperlukan dalam merencanakan hidup kita. Namun manusia terkadang hanya berfokus pada rencana jangka panjang yang semakin membuatnya terbebani dan mengakibatkannya tetap berada di posisi yang sama tanpa ada perubahan.


Maka kepasrahan bukan berarti kita menerima dengan apa adanya, ataupun menyerah dengan keadaan. Pasrah adalah titik dimana kita mampu menjalani kehidupan selangkah demi selangkah serta menikmati setiap proses tanpa terbebani akan target tinggi yang kita buat. Dengan adanya kepasrahan diharapkan kita mampu menciptakan kebahagiaan yang sederhana untuk menjaga kesehatan mental kita. (apw)

Senin, 19 Januari 2015

PESONA DAN SEJARAH COBAN JAHE

Perkembangan pariwisata alam di Indonesia saat ini nampak semakin menggeliat, terlihat dari antusias para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Beberapa wisata alam di Indonesia masih banyak yang belum dikatahui oleh masyarakat luas. Begitu juga di kawasan Malang Raya yang sangat luas dan menyimpan keindahan alam yang luar biasa. Jika selama ini air terjun atau biasa disebut coban oleh masyarakat Malang, yang cukup terkenal adalah coban rondo, coban talun ataupun coban pelangi. Ternyata Tumpang menyimpan coban yang tak kalah indah, bahkan lebih indah dari air terjun yang selama ini dikenal di Malang Raya. Salah satu potensi alam di Tumpang yang wajib dikunjungi adalah Coban Jahe, salah satu air terjun yang masih terjaga keaslian alamnya serta dibumbui dengan kisah heroik sejarah perjuangan kemerdekaan.

Saat mendengar kata jahe pasti akan terbayang tentang salah satu jenis rempah yang biasa digunakan untuk minuman. Namun maksud Jahe yang disematkan pada coban ini bukan merupakan nama dari salah satu jenis rempah tersebut. Dulu ketika jaman Belanda, para pahlawan berperang di sekitar pintu masuk coban jahe yang berbukit-bukit. Namun sayang mereka kalah dan mendapat serangan bertubi-tubi hingga semua pasukan meninggal disana. Sehingga untuk mengenang perjuangan para pahlawan digunakan kata Jahe yang berasal dari bahasa jawa ’pejahe’ berarti meninggal dunia. Konon, taman makam pahlawan tersebut sempat akan dipindahkan karena jauh dari pemukiman warga tapi tidak dapat terlaksana karena sesuatu hal.

Dari Taman Makam Pahlawan kita akan menemui gerbang masuk yang hanya terdapat papan sederhana bertuliskan Coban Jahe. Melanjutkan perjalanan lewat jalanan makadam, persawahan dan bukit-bukit dipagari pohon mahoni yang berjajar-jaran menambah keasrian suasana pagi itu. Sangat mengesankan karena ketika kami sampai disana masih belum ada penjaga maupun pengunjung lain, sehingga coban jahe serasa menjadi tempat privat untuk kami. Pengelolaan Coaban Jahe sudah cukup baik hal ini dapat dilihat dari adanya fasilitas parkir, warung, kamar mandi umum, taman yang tertata, dan wahana body rafting yang ditawarkan. Terlepas dari fasilitas tersebut, yang paling membuat kagum tentu saja air yang meluncur deras diantara tebing-tebing dengan bebatuan cadas berukuran raksasa.

Coban Jahe terletak di Dusun Begawan, Pandansari Lor, Jabung, Malang, Jawa Timur. Dari Kota Malang kita menuju ke arah Tumpang sekitar 10-15 menit, tak jauh dari tulisan selamat datang di kota Tumpang perhatikan sisi kiri jalan karena akan terdapat papan penunjuk ke arah Coban Jahe. Sekitar 7 Km masuk ke perkampungan kita akan sampai di gerbang masuk Coban Jahe, jalan menuju Coban dari gerbang masuk hanya jalan kecil yang cukup untuk 2 sepeda motor dan tidak rata dengan jalan bebatuan. Namun jalan tersebut akan terasa menyenangkan karena kita akan melewati perkebunan, persawahan dan hutan yang dipenuhi pohon mahoni. (apw)