Salah satu pasangan Ungke & Momo anak-anak Pulau Matutuang 2015 |
Pagi itu suasana
kampung sibuk untuk menyambut kegiatan ”Ungke dan Momo Matutuang 2015” yang
akan diadakan di ruang tunggu nanti sore. Ruang tunggu merupakan tempat untuk
para penumpang menunggu datangnya kapal bersandar di dermaga pulau kami, tempat
ini sering dimanfaatkan warga untuk kegiatan bersama. Anak-anak berkumpul di
rumah salah satu guru yaitu, Ibu Malbia Salor yang juga ditinggali Shaskia pengajar
muda VIII. Shaskia nampak sibuk mengarahkan anak-anak untuk bekerjasama
menyelesaikan tugas masing-masing.
Menggunting
hiasan dari kertas warna-warni, menggantung foto di ruang tunggu, memasang
spanduk, menyiapkan sound system, disudut lain perkampungan nelayan itu nampak
para orang tua semangat mendandani anaknya semenarik mungkin. Daun-daun dan
gorden disulap menjadi gaun indah dan nampak mewah. Kegiatan tersebut merupakan
inisiatif dari para guru-guru di SDN Matutuang untuk mengisi libur sekolah,
para juri merupakan tokoh-tokoh yang peduli pendidikan anak di pulau tersebut.
Kegiatan diawali dengan para peserta secara berpasangan berjalan ala model catwalk dengan pakaian tema alam.
Tak hanya
menarik secara penampilan saja, para peserta juga diuji bakatnya masing-masing
mulai menyanyi, menari, mengaji, mendongeng dan menggambar. Nampak sekali
kerukunan antar warga Matutuang, dimana lagu rohani umat kristiani dan bacaan
Al-Qur’an umat muslim dikemas dalam satu
penampilan. Acara juga diisi dengan penampilan anak-anak PAUD menari genit
diiringi ”All About The Bass”, dance anak-anak SD ”Moves Like Jager” dan
flashmob Pelangi Sangihe yang merupakan hasil dari Festival Anak Sangihe lalu.
Saya benar-benar terkejut karena pulau yang saya pikir tertinggal ini sangat
kekinian sekali, alunan musik yang biasa diputar disc jockey sangat melekat dengan para warga termasuk anak-anak
Matutuang.
Pesta belum
berakhir, setelah pemilihan Ungke & Momo acara dilanjutkan dengan buka
puasa bersama. Satu hal unik dari buka puasa tersebut adalah semua makanan
tersedia merupakan hasil sumbangan dari para warga yang rela memasak dan
membawanya ke ruang tunggu untuk dinikmati bersama. Ikan panggang, ikan goreng,
ikan kuah asam, puding coklat, pisang, sambal dabu, kukis dan berbagai kuliner
lain terhidang lezat diatas meja panjang. Benar-benar kenyang rasanya menikmati
kudapan istimewa yang diselimuti bumbu kebersamaan tersebut. Tiba-tiba dari
kejauhan awan hitam dan angin bertiup kencang hingga kemudian hujan deras
turun.
Lalu apakah kemudian
berakhir? Tentu saja belum meskipun hujan turun, karena budaya orang sangir
sangat suka menari maka saya dan pengajar muda sebelum saya diajak berdansa
hingga malam. Kebetulan Malam itu adalah malam terakhir Pengajar Muda VIII
bertugas di Matutuang, hingga jadilah semua warga ingin menghabiskan malam
bersamanya. Tarian empat wayer merupakan tari khas dari Sangir, biasanya
diiringi alunan lagu ceria dan para penarinya menari berputar secara
berpasangan. Gerakan tari empat wayer mengandalkan gerakan kaki, dimana
pemimpin gerakan berada di barisan terdepan. Berputar dan terus berputar hingga
berjam-jam, kalau dirasakan mungkin setara dengan lari pagi keliling lapangan
bola berkali-kali.
Ya, inilah
Pulau Matutuang berada di Kecamatan Kepulauan Marore yang merupakan daerah
perbatasan dengan wilayah perairan Filipina secara langsung. Kecamatan paling
utara dari Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Diameternya hanya 0,8
km dan dihuni oleh para pendatang dari suku sangir dan filipina. Anak-anak
Matutuang sangat aktif dan tak bisa diam, mereka suka menyanyi, menari dan
bermain drama. Tak dapat dipungkiri bahwa anak-anak Matutuang berhak menyandang
gelar anak ”kekinian”, nampak dari selera musik dan berpenampilannya. Selama
satu tahun kedepan saya, Andhika Prasetya Wijaya akan menjadi pelari terakhir
pengajar muda di SDN Matutuang. (apw)